Pemodelan Spasial: Jembatan Ilmu Geografi Menuju Pembangunan Berkelanjutan

Oleh: Prof. Dr. Drs. Supriatna, M.T.

Dalam dunia yang semakin terdigitalisasi, peran geografi tidak sekadar bertahan, tetapi justru menjadi semakin penting. Pemodelan spasial, sebagai cabang dari Sistem Informasi Geografis dan Penginderaan Jauh, telah berkembang menjadi alat utama untuk membaca realitas ruang secara ilmiah dan proyektif. Di tengah krisis lingkungan, urbanisasi yang tak terkendali, dan perubahan iklim yang kian nyata, pemodelan spasial bukan lagi pilihan, melainkan keniscayaan.

Dalam pidato pengukuhan sebagai Guru Besar di Universitas Indonesia ini, saya ingin menegaskan: pemodelan spasial bukan hanya metode teknis, tetapi juga cara berpikir ilmiah yang kritis dan sistemik dalam menjawab tantangan pembangunan berkelanjutan.

Geografi Sebagai Ilmu Ibu

Konsep bahwa geografi adalah “mother of all sciences” bukanlah klaim kosong. Para ahli seperti Preston E. James (1967), Bintarto (1979), hingga I Made Sandy (1984, 1985) menekankan pentingnya pendekatan keruangan dalam memahami fenomena sosial maupun fisik. Dalam pandangan ini, geografi tidak berdiri sendiri, melainkan menjadi penghubung antara berbagai disiplin—alam, sosial, dan teknologi.

Howard Gardner (2010) menyebut “kecerdasan spasial” sebagai kemampuan memahami ruang dan menginterpretasikan dunia melalui visualisasi dan transformasi. Konsep ini menemukan bentuk nyata dalam pemodelan spasial, terutama ketika dihadapkan pada permasalahan nyata seperti degradasi lingkungan, krisis pangan, atau tata ruang yang semrawut.

Teknologi dan Evolusi Pemodelan Spasial

Kemajuan teknologi telah membawa geografi ke era baru: penginderaan jauh resolusi tinggi, UAV (drone), pemrosesan big data geospasial, dan algoritma machine learning. Semua ini mengubah cara kita memahami lanskap dan perubahan penggunaan lahan. Model spasial seperti Cellular Automata, Markov Chain, jaringan saraf tiruan, hingga agent-based models kini menjadi standar dalam penelitian geospasial (Lantman et al., 2011; Supriatna et al., 2016).

Pemodelan spasial juga digunakan untuk memantau perubahan tutupan lahan secara kuantitatif dan spasial—dengan resolusi temporal yang tinggi berkat data satelit (Mahmood et al., 2010; Xing et al., 2023). Citra satelit seperti Landsat dan Sentinel-2 telah memungkinkan simulasi dinamika kota, potensi radiasi matahari, hingga perubahan iklim mikro secara presisi.

Model spasial berbasis sistem dinamis pun telah dikembangkan untuk menilai daya dukung lahan, yakni kapasitas lahan menopang aktivitas manusia tanpa mengalami degradasi (Ma, 2017; Zhou et al., 2021). Model ini memungkinkan perhitungan yang realistis atas hubungan antara pertumbuhan penduduk, wilayah terbangun, dan sumber daya lahan.

Dari Estuari hingga Kota: Luasnya Aplikasi Spasial

Riset yang saya lakukan tidak hanya sebatas pemodelan urbanisasi, tetapi juga merambah pada estuari dan wilayah pesisir. Salah satu inovasi adalah pengembangan algoritma salinitas untuk mengidentifikasi batas estuary melalui citra satelit (Supriatna et al., 2016; Qing et al., 2013). Model ini menggabungkan aspek spasial, sosial, dan ekologis dalam satu kerangka sistemik.

Di sisi lain, pemodelan spasial juga dipakai untuk prediksi sebaran penyakit, perubahan tutupan lahan di daerah rawan bencana, dan bahkan pengelolaan energi terbarukan melalui estimasi radiasi matahari berbasis citra Himawari dan UAV. Dengan pendekatan ini, pembangunan tidak lagi dilakukan dengan asumsi, tetapi dengan proyeksi ilmiah yang terukur.

Konvergensi Ilmu dan Arah Masa Depan

Melalui berbagai contoh tersebut, jelas bahwa pemodelan spasial menawarkan pendekatan transdisipliner yang mampu menyatukan aspek sosial, ekonomi, dan fisik ke dalam satu representasi ruang yang utuh. Ia bukan hanya alat, tetapi juga paradigma. Tidak mengherankan jika IGU (International Geographical Union) dalam kongres 2022 menekankan pentingnya integrasi geografi dengan ilmu teknis lain untuk menjawab isu global seperti perubahan iklim dan ketimpangan sosial.

Arah ke depan jelas: pemodelan spasial harus terus didorong sebagai landasan ilmiah dalam pengambilan keputusan—baik di tingkat lokal maupun nasional. Keputusan tata ruang, kebijakan pangan, hingga mitigasi bencana perlu dilandasi oleh hasil-hasil simulasi spasial berbasis data aktual.

Sebagai peneliti, saya meyakini bahwa masa depan geografi adalah digital, spasial, dan sistemik. Tantangan terbesar kita bukan kekurangan data, melainkan kemampuan untuk meramunya menjadi wawasan yang bermakna. Dan di sinilah pemodelan spasial akan terus menjadi jantung ilmu geografi modern.


Referensi yang Digunakan

  • Bintarto, R. (1979). Metode Analisis Geografi. LP3S.
  • Gardner, H. (2010). Good Work: Theory and Practice. Harvard University.
  • James, P.E. (1967). Careers in Geography. NASSP Bulletin.
  • Lantman, J. van S., et al. (2011). Core Principles and Concepts in Land-Use Modelling. Springer.
  • Ma, B. (2017). Literature Review On Land Carrying Capacity. AIP Conf. Proc.
  • Mahmood, S.S., et al. (2010). Climate Change and People’s Perception. Bangladesh Research Publications Journal.
  • Qing, S., et al. (2013). Retrieval of Sea Surface Salinity. Remote Sensing of Environment.
  • Sandy, I.M. (1984). Aturan Menulis dan Menulis dengan Aturan. FMIPA UI.
  • Sandy, I.M. (1985). Republik Indonesia: Geografi Regional. FMIPA UI.
  • Supriatna, S., et al. (2016). Spatial Dynamics Model for Sustainability Landscape in Cimandiri Estuary. Procedia: Social and Behavioral Sciences.
  • Xing, H., et al. (2023). Monitoring Land Cover Change. Remote Sensing.
  • Zhou, W., et al. (2021). Study on Relative Carrying Capacity of Land Resources. Sustainability.